Oleh Hardian Maulana Putra, SH.
MEDIASELEKTIF.COM - Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset harus di kebut dan jangan dibiarkan luntang-lantung, koruptor masih mengeruk untung.
Kalimat tersebut adalah gambaran yang tepat dalam menggambarkan dinamika pemberlakuan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang tidak kunjung diberlakukan.
Bahkan sudah lebih dari satu dekade lamanya sejak draf RUU Perampasan Aset selesai disusun sejak 2012 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Presiden Jokowi melalui surat presiden dengan nomor R-22/Pres/05/2023 mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset terkait Tindak Pidana (RUU PATP) tersebut.
Keengganan DPR sebagai lembaga legislatif dalam mengesahkan regulasi “sapu jagat” ini menunjukkan ketidakkonsistenan DPR dalam mengamini komitmen Indonesia terhadap The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Berkenaan dengan ratifikasi UNCAC yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam mencegah dan membasmi korupsi secara efektif dan efisien.
Urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi krusial disebabkan adanya realita kerugian negara yang muncul akibat tindak pidana korupsi di tahun 2022 telah mencapai angka Rp 48, 786 triliun, dengan tingkat pengembalian kerugian melalui pidana uang pengganti hanya sebesar Rp 3,821 triliun atau setara dengan 7,83 persen dari total kerugian yang diterima oleh negara.
Besarnya kerugian yang diterima negara tersebut selaras dengan meningkatnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada awal tahun 2023.
IPK Indonesia yang awalnya sebesar 38 terjun bebas menjadi 34 dan turut menjadi negara dengan peringkat 110 terkorupsi dari 180 negara.
Bahkan menurut catatan yang dikeluarkan oleh Badan Transparency International Indonesia (TI Indonesia) yang menunjukkan bahwa Indonesia saat ini berada pada posisi sepertiga negara terkorup di dunia.
Apalagi munculnya kasus terbaru di tahun 2024 mengenai timah yang sangat merugikan negara sebesar 300 ratus triliun belum usai kasus tersebut muncul lagi kasus Pertamina yang hampir merugikan masyarakat Indonesia sebanyak 1 kuadtriliun ini sangat memalukan negara kita.
Yang dimana negara kita sedang berjuang dari negara berkembang menjadi negara maju Untuk itu kami mengharapkan pemerintah untuk mengesahkan undang - undangan perampasan aset segera mungkin.Agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali,"ujar Hardian Maulana Putra, SH. selaku praktisi hukum kepada mediaselektif.com.(Hardian/MSC)