MEDIASELEKTIF.COM - Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur, dua wilayah penghasil batubara terbesar di Indonesia, akan terkena dampak signifikan dari pergeseran global menuju energi terbarukan.
Meningkatnya komitmen internasional untuk beralih dari bahan bakar fosil untuk mencapai target net zero emissions (NZE), termasuk penghentian penggunaan batu bara dan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, akan mengurangi permintaan batubara global dan pada akhirnya akan mengurangi ekspor batu bara Indonesia.
Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur harus segera mengembangkan strategi pembangunan dan ekonomi yang komprehensif untuk mengatasi dampak dari penurunan batubara.
Strategi ini harus memprioritaskan pembangunan ekonomi alternatif yang berkelanjutan, meningkatkan pembangunan manusia, inovasi teknologi energi terbarukan, pengolahan material karbon tanpa pembakaran, dan dukungan kebijakan yang kuat serta bantuan kepada masyarakat dan pekerja yang terkena dampak.
Shanxi Carbon-Peak-Carbon-Neutral Energy Revolution Research Institute (CCERR), bekerja sama dengan People of Asia for Climate Solutions (PACS), Institute for Essential Services Reform (IESR), menyelenggarakan Diskusi Kedua Mengenai Masa Depan Tanpa Batubara dan Kunjungan Lapangan Transisi Energi Tiongkok-Indonesia pada tanggal 29 Juli - 1 Agustus 2024 di Provinsi Shanxi, Tiongkok.
Kunjungan ini mempertemukan perwakilan dari pemerintah Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur untuk mempelajari kemajuan transisi energi di Shanxi.
Sebagai provinsi penghasil batubara terbesar di Tiongkok, Shanxi memiliki cadangan batubara sebesar 43,31 miliar ton pada tahun 2022, yang merupakan 23,3% dari total cadangan batubara Tiongkok.
Zhang Cheng, Direktur Eksekutif CCERR, menyatakan bahwa melalui Diskusi dan Kunjungan Masa Depan Bebas Batubara Kedua, pemerintah China juga telah mengajukan tujuan ganda karbon untuk berupaya mencapai puncak emisi karbon dioksida sebelum tahun 2030 dan mencapai netralitas karbon sebelum tahun 2060, serta secara ketat mengendalikan dan secara bertahap mengurangi konsumsi batubara.
“China dan Indonesia memiliki potensi besar untuk kerjasama dalam transisi ke energi terbarukan, termasuk transfer teknologi, investasi proyek, dan pembangunan kapasitas. Kerjasama energi kedua negara sangat saling melengkapi dan memiliki prospek yang luas,” jelas Cheng.
Lebih lanjut, Xiaojun Wang, Direktur Eksekutif PACS, menekankan pentingnya peran teknologi energi terbarukan yang tepat dalam mempercepat transisi energi di daerah penghasil batu bara. Menurut Wang, kunjungan ini memberikan kesempatan bagi Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan untuk melihat langkah Provinsi Shanxi dalam pengembangan teknologi energi terbarukan.
“Meskipun teknologi energi terbarukan di Shanxi masih berkembang dibandingkan dengan industri batubara dan industri berat provinsi tersebut, penerapannya di wilayah penghasil batubara seringkali menghadapi tantangan terkait risiko teknis yang dianggap tinggi dan kebutuhan investasi yang besar. Untuk mengatasi masalah ini, meningkatkan kemampuan inovasi teknologi energi terbarukan melalui pembentukan lembaga penelitian ilmiah dan perusahaan berteknologi tinggi, serta menerapkan program pelatihan terstruktur, sangat penting,” jelas Wang.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyatakan bahwa dengan semakin cepatnya transisi dari batubara, strategi untuk memitigasi konsekuensi ekonomi dan sosial di daerah penghasil batu bara harus menjadi prioritas dalam rencana pembangunan jangka panjang dan jangka menengah di tingkat nasional dan daerah. Pemerintah Indonesia harus berkolaborasi secara erat dengan pemerintah daerah dalam menyusun rencana pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan segera menerapkannya.
“Pemerintah harus segera mengidentifikasi sektor-sektor ekonomi alternatif yang menjanjikan sekaligus meningkatkan literasi keuangan masyarakat dan mempersiapkan para pekerja industri batu bara untuk industri yang berkelanjutan. Belajar dari provinsi-provinsi penghasil batubara besar, seperti Shanxi di Cina, dapat menginspirasi pemerintah nasional dan daerah di Indonesia untuk membayangkan perubahan transformatif yang akan terjadi dalam waktu dekat dan merencanakan ekonomi pasca-batubara,” tambah Fabby.
Fabby juga menggarisbawahi pentingnya kolaborasi berbagai pemangku kepentingan di tingkat regional, nasional, dan internasional untuk meminimalkan dampak ekonomi dan sosial dari transisi energi dan memfasilitasi pertukaran pengetahuan di antara daerah-daerah penghasil batubara yang sedang beralih ke energi bersih.
Untuk memperkuat pengetahuan transisi energi di daerah penghasil batu bara, CCERR, PACS, dan IESR telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) untuk mempromosikan pengembangan energi rendah karbon dan kolaborasi dalam transisi energi, netralitas karbon, dan revolusi energi (01/08/2024).
Wira A. Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR, menekankan bahwa kemitraan ini menawarkan platform yang berharga bagi Tiongkok dan Indonesia untuk berbagi keahlian dan praktik terbaik dalam mencapai masa depan energi yang berkelanjutan dan mengembangkan industri yang berkelanjutan.
Kunjungan Lapangan Transisi Energi China-Indonesia mencakup kunjungan ke lima lokasi utama. Pertama, Shanxi Meijin Energy, produsen kokas komoditas independen terkemuka dengan rantai industri yang komprehensif yang mencakup batubara, kokas, gas, bahan kimia, dan hidrogen.
Kedua, Shanxi Shuangliang Renewable Energy Industry Group, pelopor teknologi energi terbarukan yang memiliki 238 paten dan berspesialisasi dalam pemulihan panas limbah industri dan pengembangan energi panas bumi.
Ketiga, China Energy Engineering Group Shanxi Electric Power Construction, yang berfokus pada perencanaan energi dan tenaga listrik, konsultasi teknik, dan konstruksi.
Keempat, Proyek Percontohan Terpadu Penyimpanan Tenaga Surya, Pengisian dan Penyediaan Tenaga Listrik Stasiun Tol Dayu dan Taman Sains dan Teknologi Perlindungan Lingkungan Netral Karbon Lembah Hijau. Kelima, Institut Penelitian Desain Taiyuan untuk Industri Batubara.(Rel/MSC)